Ratings1
Average rating3
Featured Series
1 primary book4 Wartawan Lifestyle is a 1-book series first released in 2009 with contributions by Syahmedi Dean.
Reviews with the most likes.
Pandangan saya tertumbuk pada A.M.S.A.T. ketika saya mengobrak-abrik tumpukan buku obral di Mal Ambasador. Nama pengarangnya yang familiar membuat saya menimang-nimangnya sebentar, lalu memasukkannya dalam keranjang belanja. Sudah lama sekali sejak saya baca bukunya yang pertama: J.P.V.F.K., dan saya teringat bahwa buku pertama itu menyenangkan sekali untuk dibaca: saya jadi berkenalan dengan merk-merk fashion terkenal, dinamika jurnalisme mode, dan benturan-benturan norma antara dunia fashion dan adat ketimuran yang dipegang Alif, salah satu tokoh utamanya.
Dari mana lagi saya yang hampir tipikal mahasiswa gembel ITB waktu itu bisa mengerti kata haute couture? Atau tahu bahwa huruf H merk Hermes tidak dilafalkan? Saya jadi tahu bahwa aksesoris-aksesoris dari merk-merk yang berseliweran itu harganya bisa mencapai puluhan dan ratusan juta.
Saya curiga dulu saya melihat diri saya seperti Alif, yang digambarkan tetap teguh sembahyang, menampik minuman keras meski di lingkungan yang bertolak belakang.
Dan ini membuat saya bingung ketika tahu-tahu Alif jadi “pejojing seronok”. Iya, dia gundah tidak lagi bisa memenangkan hati Saidah mantan istrinya. Bolehlah saya percaya dia kalut mengurus majalah yang dia dirikan bersama tiga teman terdekatnya (Raisa, Didi dan Nisa). Tapi mencari pengalih perhatian, dengan menerima tantangan untuk menari striptease dari tokoh yang bahkan tidak pernah disebutkan hingga di halaman 173? Terlalu dipaksakan, sepertinya. Anehnya lagi, untuk sesuatu yang akhirnya begitu menekan reputasi, konflik tentang hal ini seperti terlupakan selama berpuluh-puluh halaman, hingga ketika rahasianya terbuka, hidup Alif berubah semua.
Mungkin memang terlalu banyak konflik yang ingin dijalin Dean untuk Alif dan ketiga tokoh utama lainnya. Raisa harus membuktikan diri keluar dari citra anak manja, memenangkan cinta Alif, dan pergulatan dengan busana identitas agama. Nisa yang hamil di luar nikah harus bersitegang dengan orang tuanya. Didi tahu-tahu terseret kasus konspirasi politik orang tuanya. Dan banyaknya konflik ini tahu-tahu selesai di akhir ketika Nisa meninggal setelah melahirkan, Didi dipecat dari posisinya, dan Alif tewas ketika kantor majalah mereka diamuk massa yang memprotes gambar sampul edisi terakhir mereka yang seronok.
Terlepas dari plot, saya temui juga beberapa kesalahan tipografis, Raisa yang tiba-tiba berubah menjadi Nisa di dialog halaman 209, dan tanda-tanda hubung yang terselip di tengah-tengah baris kalimat. Yang paling mengganjal adalah penggunaan kata loose yang harusnya lose (“I have nothing to loose”, p.189), dan proove alih-alih prove (“Let's proove it”, p.154). Tolong jangan ingatkan saya dengan kata miscalled di halaman 140.
Ini bukan berarti penulisan Dean buruk. Jauh dari itu, malah. Pilihan kata-kata bahasa Indonesianya renyah, dan saya juga menemui kata bersirobok di sini.
Selain itu, ada beberapa bagian yang menyentuh. Salah satunya adalah ketika Alif dan Saidah bercengkerama di KBRI Perancis dengan waria korban perdagangan manusia yang melarikan diri dari Eropa Timur lalu mencari suaka. Bagian lain adalah ketika Raisa mengeluarkan sumpah serapah karena Audi yang ditumpanginya hampir ditabrak oleh motor–sejurus kemudian Alif bertemu dengan kurir yang mengendarai sepeda motor tersebut, gemetaran hampir menabrak mobil mahal sembari merutuki si kaya, tanpa tahu bahwa itu adalah mobil Raisa. Terakhir, sesuai dengan label genre metropop yang disandangnya, tanpa menggurui A.M.S.A.T. mengemas tentang masalah-masalah aktualisasi diri lewat profesi.
Jadi, apakah ini buku yang buruk? Tidak juga. Coba saja baca dulu, siapa tahu suka juga.