Ratings1
Average rating4
“Akulah lemang, engkaulah tapai. Cintaku basi tanpamu,” ikrarmu. Selalu.
Ada lebih dari satu cara memaknai masa lalu, tapi “Lelaki Ragi dan Perempuan Santan” ini berbahaya bagi mereka yang baru-baru saja nggerus–bayangkan saja si lelaki setia menolak rantang gulai kentang dengan kuah yang kental dan kentang yang kempuh sempurna sebagai tanda pinangan, semua demi menanti si wanita. Namun si wanita justru menerima pinangan pengusaha dari Jakarta.
Ada simetri di cerpen-cerpen Damhuri. Di “Reuni Dua Sejoli”, kedua sejoli sama-sama menghalau teman-teman lama, karena jengah ditanya kapan beroleh keturunan. Di “Dua Rahasia, Dua Kematian”, Angga dan Anggita sama-sama tidak beroleh restu orang tua–yang lalu menyesal ketika anak mereka menjadi korban gempa.
Tapi tidak semua cerpennya berlatar nestapa cinta. Tidak ada romansa di “Luka Kecil di Jari Kelingking”–yang nampaknya bersumber pada pengalaman penulis dihardik saudara dari kota karena lancang mendekat-dekat mobil sedannya, atau di kisah tukang cukur yang menjadi centeng los daging (“Badar Besi”). Ada beberapa cerita mistis, seperti “Tembiluk” tentang anjing berkepala manusia dan “Bayang-bayang Tujuh”, tentang upaya menghabisi raja judi yang punya kekuatan sakti. Ada juga cerita tentang Alimba di “Anak-anak Masa Lalu” yang kesurupan arwah anak-anak yang dipotong kepalanya untuk tumbal pembangunan jembatan–ini adalah salah satu favorit saya.