Ratings27
Average rating3.2
Ketika perasaan stres dan depresi lebih terkalahkan oleh rasa lapar dan keinginan makan tteokpokki atau makanan favorit kamu, apa yang akan kamu lakukan? Apakah memilih untuk menyerah atau makan saja dulu? Mengambil premis menarik, Baek Se Hee selaku penulis buku ini rupanya mampu menggetarkan dunia non fiksi dengan buku motivasinya yang diangkat dengan cara unik dan menawan Kendati dari judulnya saja terkesan seperti sedang bercanda namun buku ini sebenarnya memiliki kisah yang sama sekali tidak bercanda. I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki ini merupakan catatan pengobatan sang penulis sendiri yang dikemas sebagai sebuah buku bacaan yang menenangkan Buku setebal 236 halaman ini berisi esai yang tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya. Buku self improvement ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat bestseller di Korea Selatan. Tentang Penulis: Nama Baek Se Hee kini sudah semakin mengudara karena tulisan-tulisannya yang banyak dicintai para pembaca yakni I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki satu dan dua. Penulis asal Korea Selatan ini merupakan perempuan kelahiran Februari 1990 tepatnya di Seoul. Buku pertamanya yang dirilis pada 2019 lalu langsung meraih best seller di Korea, yang akhirnya diterjemahkan dalam banyak bahasa termasuk bahasa indonesia. Sebelum kini menjadi sosok yang menginspirasi banyak generasi muda, Baek Se Hee sendiri pernah mengalami masa kelam hidupnya.
Featured Series
2 primary booksI Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki is a 2-book series with 2 primary works first released in 2018 with contributions by Baek Se-hee.
Reviews with the most likes.
I enjoyed the concept of the book for the most part I would say for the last hour of my audio idk how I felt bc it was like the author was rambling and repeating things we already heart for the other 80% of the book nonetheless still a good read
Maybe it just plays better in Korea with its BTS recommendation and possibly different norms around therapy. Here in the West being able to take part in therapy is more a point of class distinction, while social media has normalized the open and frank discussion around mental illness to the point people are falsely laying claim to neurodivergent traits for a strange sense of clout. Still there is the thrill of eavesdropping on a therapist / client conversation and, at least for me, repeated feelings of recognition. But then again the self-loathing, tendency to extremes, body dysmorphia, insecurity, and general melancholic malaise discussed here — well isn't that just the current resting state of just about everyone in our social media saturated world?
Maybe it can provide some sense of relief to those suffering from mild depression, or at least a sense of being seen. That is huge and I don't want to dismiss the value others may find. Maybe I'm oblivious, I'm the dog, drinking coffee, being engulfed in flames exclaiming “This is fine” but the book just didn't work for me.