Matinya Seorang Penari Telanjang
Matinya Seorang Penari Telanjang
Ratings1
Average rating3
Reviews with the most likes.
Cerpen Matinya Seorang Penari yang menjadi judul antologi ini memang menarik. Dua versi, versi film dan asli, melengkapi satu sama lain. Versi film, karena memang mengadaptasi bentuk yang menekankan aksi, lebih banyak bercerita tentang diburunya Si Penari Telanjang oleh dua orang pembunuh bayaran yang eksentrik. Versi asli cerpennya lebih banyak menjelaskan motif-motif yang melatarbelakangi peristiwa pembunuhan itu. Pada akhirnya siapa biang keladi tidak juga terjawab, tapi Seno Gumira Ajidarma (SGA) meninggalkan pesan yang apik, bahwa perempuan agaknya selalu menjadi korban dan laki-laki tak pernah mau disalahkan.
Secara keseluruhan antologi ini berasal dari cerpen SGA yang dimuat di Kompas dan media massa lainnya. Cerpen SGA lazimnya mencemooh segala perikehidupan modern, dan ciri itu terlihat di buku ini. Semua cerita yang dimuat di sini tidak lepas dari kritik akan masyarakat. Ini bisa dilihat terutama di Manusia Kamar dan Ngesti Kurawa dengan tokoh utamanya yang nyata-nyata mencerca masyarakat dan, di cerita yang disebut belakangan, pergesaran pola hidup yang membuat semua orang makin sering. Kadangkala cerita SGA tak mudah ditangkap maksudnya, semisal Matinya Seorang Pemain Sepakbola atau Matinya Seorang Wartawan Ibukota, tapi di dalamnya SGA menyinggung soal ekspektasi besar pada orang yang sejatinya biasa-biasa saja. Di Tante W, Katakan, Aku Mendengarnya, dan Selamat Pagi Bagi Seorang Penganggur sinisisme SGA pada realitas perkotaan semakin kentara dengan nyata-nyata mengejek kekeluargaan yang kian pudar, rasa penasaran yang tidak diikuti dengan empati, dan ritme hidup Jakarta yang menyiksa penduduknya.