Ratings1
Average rating5
Kemampuan berpikir adalah sebuah perjalanan—bukan tujuan—yang sebagai konsekuensinya akan menumbuhkan pemahaman tentang diri, kemampuan memecahkan masalah secara lebih efektif, sikap terbuka terhadap pemikiran baru, hingga empati yang lebih baik dalam berhubungan dengan manusia lain. Lewat Menjadi, Afutami menawarkan peta jalan yang membantu penelusuran tersebut. Alih-alih menggurui, buku ini mengajak kita berkaca lewat perjalanan penulisnya dalam memproses disonansi dari berbagai paradoks kehidupan yang ditemuinya, mulai dari privilese dan ketimpangan, nasionalisme dan humanisme, hingga ekonomi dan lingkungan. Di akhir, Menjadi juga menawarkan opsi konkret untuk mengejawantahkan kemampuan berpikir tersebut ke dalam aksi dan kontribusi nyata. Harapannya, buku ini bisa menjadi teman dalam berproses dan penemuan-penemuan internal yang memerdekakan diri serta membantu membangun hubungan lebih sehat dengan sekitar.
Reviews with the most likes.
Ulasan ini aku poskan ulang dengan beberapa revisi dan tambahan di blog: https://antariksakh.com/menjadi-2022/.
Beberapa poin yang aku pikirkan tentang buku ini:
1. Sangat jarang ada orang Indonesia yang bisa nulis dengan perspektif selebar ini. Orang-orang “intelektual” di sini seringkali sudah punya ranah spesialisasi masing-masing. Akibatnya, meski tulisan-tulisan mereka banyak yang bisa tajam menghujam jantung persoalan, namun tidak terlalu menarik buat orang yang bukan pemerhati subjek yang dibahas, sebutlah di bidang-bidang sains, ekonomi, sosiologi, atau kebudayaan. Bukunya Afu ini tampak sudah bebas dari sekat-sekat keilmuan yang kaku itu, dan dari situ dia bisa meramu sebuah “cerita” yang unik, mengupas masalah-masalah masyarakat dengan cermat, tapi juga dengan sisi manusiawi yang semua orang bisa nyambung.
2. Di halaman 127, Afu menyebut tentang “membangun kembali angkatan intelektual Indonesia” yang sempat hilang lantaran Orde Baru. Mirisnya, sampai 24 tahun paska robohnya Orde Baru dan tegaknya Reformasi ini, rasa-rasanya masih belum ada “angkatan intelektual Indonesia” itu, kaum public intellectuals dari orang-orang di generasi Y dan Z. Tapi, membaca Menjadi ini membuatku agak optimis kalau mungkin kelompok orang-orang intelektual itu akan muncul dengan buku semacam ini sebagai pemicunya.
3. Aku suka banget dengan banyaknya alat-alat berpikir atau mental models yang dikenalkan di Menjadi ini, seperti sistem I dan II dalam berpikir, tahap-tahap pendewasaan-nya Kegan, konsep need for cognitive closure, eksternalitas, ekonomi donat, sampai dikotomi reformis-revolusionis dalam manajemen perubahan. Rasa senangku ketika dikenalkan perkakas-perkakas konsep ini buat memperbaiki metode berpikirku mungkin sama dengan bapak-bapak habis belanja dari toko bangunan berupa toolbox yang isinya lengkap banget buat menunjang segala aktivitas pertukangan di rumah.
4. Walaupun buku ini penuh dengan pergumulan dalam proses “menjadi” yang filosofis/etis/spiritual nan tidak duniawi, tapi sebetulnya buku ini juga sekaligus bisa jadi panduan yang bagus buat menentukan arah karir bekerja, rencana studi, esai kontribusi dan personal statement buat aplikasi beasiswa, bahkan mungkin rencana terjun ke politik praktis bagi yang memang berminat ke arah sana. Hehehe. Alat-alat berpikir dalam buku ini memungkinkan untuk dipakai ke arah sana, terutama di bagian C. Jadi, ini buatku satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa berpikir kritis atau refleksi diri atau berfilsafat atau “menjadi” itu bukan hanya kegiatan waktu senggang untuk menunjukkan privilese saja (mungkin istilah yang tepat untuk ini “navel-gazing”). Ia punya nilai yang sangat praktis dan sangat bisa diterapkan sebagai siasat bertahan hidup dan, pada akhirnya, untuk memenangkan the game of life.
5. Pada akhirnya, sesuai anjuran Afu sendiri di akhir buku, aku menemukan titik-titik perseberangan pendapat. Titik perbedaan pendapatku yang terbesar adalah dari soal proses “menjadi” yang digambarkan linear sesuai dengan alur hidup. Buku ini ditulis dengan asumsi bahwa ada titik awal dan akhir yang jelas dalam proses “menjadi.” Ini bisa terlihat dari proses dialektika Hegelian yang dikutip Afu dengan tesis-antitesis-sintesisnya. Tapi, bisa juga kita katakan kalau proses pengembangan diri tidaklah seruntut itu. Afterall, life is messy, paradoxical, and full of randomness. Banyak hal yang tidak dapat terjelaskan dalam bentuk narasi (re: narrative fallacy, fooled by randomness), apalagi kalau urusannya dengan pengalaman pribadi (re: survivorship bias, Anna Karenina principle). Tentu saja, tidak bakal ada buku yang bisa menjelaskan semua hal di dunia ini alias the theory of everything. But, for me, the beauty of Menjadi is that for all its useful bits of knowledge and tools for critical thinking, it is ultimately NOT intended as a prescription of how to lead a good life, but rather as a call to action to start/restart our process of being/”menjadi”. Ini adalah hasil refleksi penulisnya atas proses “menjadi”-nya, yang bisa jadi sesuai ataupun tidak dengan situasi personal masing-masing pembaca. Akupun jadi merasa terpanggil untuk merespons apa yang sudah ditulis Afu dengan refleksi-refleksiku tentang prosesku sendiri dalam “menjadi.”