Ratings1
Average rating4
Reviews with the most likes.
Sejujurnya, saya baca buku ini karena “disuruh” Pak Ariel Heryanto dalam video ceramahnya yang cukup viral tentang peran serta orang Eropa dalam kemerdekaan Indonesia. Kalau biasanya di film atau karya fiksi lainnya orang Eropa, apalagi Belanda, selalu dijadikan tokoh jahat, di kumcer karangan Iksaka Banu ini justru hampir semua lakonnya bernama asing. Orang “pribumi”-nya sendiri hanya muncul sekali-sekali, kadang membantu Belanda dan kadang memusuhi.
Dari cerita pendek pertama, Selamat Tinggal Hindia, kita disuguhi keterangan bahwa yang berpikir soal Indonesia merdeka bukan cuma orang Indonesia saja. Ada orang-orang Belanda yang lahir dan besar di Hindia, dan sama sekali mereka tidak kenal tanah Belanda itu sendiri. Mungkin pembaca akan ingat ke karakter Annelies di Tetralogi Buru-nya Pram. Di cerita yang lain, Pollux, Iksaka Banu tidak hanya bertutur soal nasib Pangeran Diponegoro setelah kalah perang, tapi juga bagaimana seorang tahanan Belgia (yang waktu itu masih berjuang memisahkan diri dari Belanda) ditolong oleh beliau. Namun, dari semua cerita dalam buku ini, yang paling mengguncang saya adalah Semua Untuk Hindia. De Wit, sang tokoh “aku”, menjuluki Pemerintah Hindia Belanda saat itu sebagai fasis, oleh sebab ambisi Gubernur Jenderal van Heutsz untuk menguasai Kerajaan Badung, Bali. Karena ambisi itulah Kerajaan melawan, namun mereka melawan tidak dengan cara yang dikira oleh orang-orang Belanda dan mungkin kita sebagai pembaca yang sudah hampir 110 tahun terpisah dari peristiwa Puputan Badung yang terkenal itu.
Tentunya, tidak seru rasanya kalau semua cerita saya kupas satu per satu. Agaknya cukup dikata bahwa Iksaka Banu betul-betul menekuni penggarapan latar waktu dan tempat serta tema dalam cerita-ceritanya secara sungguh-sungguh. Kisah-kisah ini, yang semuanya bersudut pandang “aku” yang seorang Eropa kulit putih, tampak sangat meyakinkan meski tak sebentar pun pernah terlintas di kepala saya. Kita terbiasa mendengar cerita soal sejarah Indonesia dari buku sejarah sekolah saja, yang dipenuhi oleh cerita-cerita kepahlawanan yang sarat kemuliaan dan pengorbanan para pejuang serita kelicikan dan kebiadaban penjajah. Nyatanya, sejarah Indonesia tidak sehitam-putih itu. Penjajah maupun yang terjajah rupanya pernah dan bisa hidup bersama-sama, meski dalam ketidakadilan dan penindasan.
Sebetulnya saya kurang sreg dengan penyajian dialognya yang agak kaku dan berasa terjemahan, juga dengan beberapa cerpen yang buat saya tidak begitu terlihat konfliknya. Namun, penggambaran sejarah dan tokoh-tokoh yang gamblang berhasil memakan perhatian saya hingga beberapa waktu setelah membaca buku ini. Sudah saatnya orang Indonesia membaca sejarahnya sendiri dengan lebih terbuka.