The Geography of Bliss: Kisah Seorang Penggerutu yang Mengelilingi Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan

The Geography of Bliss

Kisah Seorang Penggerutu yang Mengelilingi Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan

2008 • 512 pages

Ratings1

Average rating3

15

Skip the Indonesian version, it's horrible-horrible-horrible. Iya, saya tahu menerjemahkan tentang kebahagiaan tidak mudah, tapi membaca terjemahannya meningkatkan ketidakbahagiaan saya.

Seandainya saja yang saya pegang bukan buku pinjaman dari RR yang sudah dia tandai di sana-sini, saya mungkin akan menyerah dan lebih memilih mencari versi bahasa Inggrisnya. Membaca kalimat seperti “Semua orang di sini berbicara bahasa Inggris sebaik bahasa Islandia. ‘Dwi bahasa' bukanlah sebuah kata yang kotor.” (Dari hal. 248. Bentuk dwi- harusnya terikat, dan kalau tidak terikat maka dia jadi dua kata, bukan sebuah kata. Saya jadi ingin mengeluarkan kata kotor membacanya.).

Tapi dengan tanda stabilo RR–saya jadi bisa menebak-nebak alasan dia menandai bagian-bagian seperti di bawah:

“Orang Swiss bahagia karena mereka benar-benar berusaha untuk tidak menimbulkan iri pada orang lain.... Di Swiss, hal terburuk yang dapat terjadi pada Anda adalah menjadi pemenang mencolok nouveau riche (orang kaya baru).”

Kenapa ya RR menandai bagian menjadi nouveau riche? Apakah ini berarti saya bisa minta ditraktir? (Dari halaman 257: Orang Islandia menekan rasa iri dengan membagi barang-barang mereka.)

Eric Weiner sendiri menulis buku ini dengan menjelajah 10 negara: Belanda (tempat ganja dan prostitusi legal), Swiss (bahagia itu hidup dengan kemajuan dan kereta tepat waktu), Bhutan (bahagia itu ada di Shangri-La), Qatar (bahagia itu jadi kaya), Islandia (tempat yang aneh karena orang bisa bahagia dingin-dingin dalam kegelapan ), Moldova (karena bahagia itu tahu bahwa ada yang lebih parah dari kita, dan tidak ada yang lebih mengenaskan dari Moldova), Thailand (bahagia itu mai pen lai–sikap pasrah ya sudahlah mau bagaimana lagi), Britania Raya (rasa bahagia itu bisa dicoba dibangkitkan dengan reality TV), India (bahagia itu menjadi spiritual), dan Amerika (karena bahagia itu pulang ke rumah).

Saya sendiri baru pernah ke dua negara dari daftar di atas, dan kutipan yang dipilih Weiner tentang India membuat saya serasa kembali berada di Paharganj: “‘Saya suka suara klaksonnya, bajaj-nya, para perempuan yang menaruh pot di kepala mereka, kacang walah, lonceng-lonceng kuil.' Mau tidak mau saya memerhatikan bahwa sebagian besar yang ia katakan ada hubungannya dengan indra pendengaran. India adalah pesta perjamuan untuk telinga.” (hal. 448).

Tapi secara umum, saya paling bersepakat dengan halaman 485: “Money matters but less than we think and not in the way that we think. Family is important. So are friends. Envy is toxic. So is excessive thinking. Beaches are optional. Trust is not. Neither is gratitude.”

Ini sebabnya saya (kurang lebih) bahagia.

October 6, 2015Report this review