Ratings1
Average rating4
(Review ini sebelumnya saya tulis di blog saya: https://yellowdoorknob.blogspot.com/2015/06/jalan-lain-ke-tulehu.html)
Sulit sekali ternyata merekomendasikan Jalan Lain ke Tulehu ke teman-teman saya. Begitu saya perlihatkan sampulnya, mereka langsung bertanya, “Ini yang ada filmnya itu ya? Pasti iya deh, ini ada ‘Cahaya Dari Timur' juga.”
Susah memang kalau berteman dengan orang-orang yang saking seringnya dapat tawaran nonton bersama pemutaran film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, bisa pasang #sikap kalau-ga-ada-Chicco-Jericho-gue-malas-dateng-kalau-Glenn-Freddly-gue-ga-nafsu. Buat mereka, kalau ini adaptasi sama dengan filmnya, buat apa baca novelisasinya?
Saya yang belum menonton filmnya tidak bisa menyangkal maupun mengiakan. Dan memang sekilas dari sampulnya, sepertinya mirip. Dua-duanya bertuliskan “Cahaya dari Timur”; di kedua poster dan sampul, ada orang bermain sepakbola. Makin tidak tampak baru untuk teman-teman saya.
Maka saya mencoba pendekatan lain untuk merekomendasikan buku ini, “Buat gue sih menarik aja, karya tulisan diceritakan dengan tutur logat Maluku. Terus karena ngga jauh beda sama logat Manado pasar yang dipakai di Banggai, jadi berasa macam kita balik lagi ke sana.”
Saya agak canggung mau merekomendasikan tentang kekuatan plot buku ini, karena, yah, kosakata apresiasi karya sastra bukanlah kosakata biasa saya sehari-hari. Sekalinya dulu ambil mata kuliah apresiasi sastra di ITB, di kelas malah baca Newsweek dan Time. Canggung bercakap sastra saya.
Sejujurnya, ketika saya mulai membacanya, saya langsung terhisap dalam cerita. Tentang Gentur yang harus diselamatkan dari vigilante nasrani yang hendak “membersihkan” muslim dari kapal yang saat itu dia tumpangi. Dan memang ini adalah fokus utama buku ini, tentang konflik antara yang bersalib dan bersalam di awal dekade yang lalu. Konflik ini membawa Gentur ke desa Tulehu, desa muslim yang terkenal sebagai kampung sepakbola.
Kalau ini adalah film sebangsa Air Bud, maka berikutnya pembaca akan disajikan cerita sepakbola membuat orang bisa mengesampingkan perbedaan di Tulehu. Tapi karena ini bukan sebangsa Air Bud, di novel ini justru kita akan menemui ketegangan ketika penduduk desa muslim tidak ingin ada warga kristen yang ikut menonton laga Belanda versus Italia di semifinal Piala Eropa. Penyebabnya pun tidak terasa dibuat-buat: tidak adanya listrik di desa membuat mereka rela mempertaruhkan keselamatan nyawa dengan datang ke desa yang berbeda agama. Adu urat tentu ada, dan saya mendapati diri saya bersimpati dengan si anak kristen yang berpura-pura harus ikut mendukung Belanda walaupun sebetulnya dia mendukung Italia. Bagaimana tidak? Begitu hampir ketahuan kalau ia mendukung Italia, situasi menjadi genting.
Bagi sebagian orang, sepakbola itu bagaikan agama. Bermain (dan menonton) bola bisa punya dampak katarsis yang sama dengan beribadah pada Yang Kuasa. Di sisi lain, terlihat pula di novel ini fanatisme terhadap keduanya ternyata tidak jauh berbeda.
Novel ini juga kaya akan lapisan-lapisan cerita. Tentang Said—mantan atlet kabupaten yang gagal bersinar karena cidera di masa muda—yang mencoba melatih anak-anak bermain sepakbola, tapi juga dirundung permasalahan rumah tangganya. Tentang Gentur yang dikejar masa lalunya—dan memori tentang almarhum kekasihnya yang menjadi korban perkosaan 1998. Tentang Tulehu yang menyimpan banyak memori persepakbolaan Indonesia. Bagi saya, tamatnya novel ini adalah titik awal berkecamuknya pikiran-pikiran yang harus diurai dari observasi yang ditawarkan novel ini.
Observasi pertama adalah tentang kekuatan kerusuhan 1998 sebagai latar cerita literatur sastra Indonesia. Memori atas 1998 adalah salah satu penggerak Gentur di novel ini, dan baru minggu yang lalu saya dapati demonstrasi mahasiswa 1998 menjadi salah satu bagian plot di novel “Pasung Jiwa”nya Okky Madasari. Yang lalu membuat saya bertanya-tanya, kenapa saya tidak banyak menemui literatur populer yang mengangkat peristiwa tahun 1965? Apakah ini karena pengaruh Orde Baru yang “membersihkan” citra dirinya?
Observasi kedua adalah tentang peran lingkungan kita dalam membentuk pilihan masa depan. Waktu kita kecil, saya rasa akan sangat sedikit dari orang tua kita yang tertawa saat kita bercita-cita menjadi dokter dan insinyur dan pilot. Bisa jadi mereka mendukung dengan bangga, dan memang dukungan itu adalah hal yang mudah ketika mereka familiar dengan profesi tersebut (atau bahkan itulah profesi mereka). Tapi bagaimana jika waktu itu kita mengaku bercita-cita menjadi atlet sepakbola atau seniman? Bisa jadi mereka menganggap itu gurauan sepintas lalu.
Di sisi lain, saya bayangkan di Tulehu orang-orang tuanya akan menyangsikan anak mereka bisa lulus sekolah dan kuliah untuk menjadi dokter dan insinyur. Mudah dibayangkan bagi mereka untuk tidak serius menanggapi cita-cita anak mereka, ketika mereka tahu bahwa bersepakbola adalah alternatif yang lebih mudah, lebih lazim dicapai. Lihat saja Aji Lestahulu (PSM), Mustafa Umarella (Pelita Jaya), Kasim Pellu (Bintang Timur Cirebon) yang juga berasal dari desa ini, sementara mana ada anak sini yang bisa jadi dokter?
(Trus yang udah jadi dokter dan pengacara dan insinyur songong deh, “Ini hasil kerja keras gue kok!”).
Yah, paling tidak sekarang saya jadi makin memahami kenapa Kelas Inspirasi itu penting.
Observasi ketiga adalah: tinggal di Jakarta ternyata membuat akses saya terhadap bacaan lokal makin terbuka. Kalau saya tidak tinggal di Jakarta, saya tidak naik transjakarta. Kalau tidak naik transjakarta, tidak bisa mengintai mbak-mbak di halte Halimun yang juga mengantre sambil membaca novel ini. Kalau dia tidak sedang membaca novel ini, saya jadi tidak bisa mengintip isinya. Kalau saya waktu itu tidak mengintip, saya tidak akan tertarik dan mencarinya di Gramedia. Ternyata ada berkahnya juga tinggal di Jakarta.